Selasa, 29 Januari 2013

puisi

           Oleh      : Amirah Maulida                                                


                             AYAH

Tubuhmu tak pernah berkata rapuh..
Tulangmu tak pernah berkata lelah..
Kakimu tak pernah berhenti untuk melangkah..
Matamu tak pernah berhenti untuk mencari jejak..
Pagi hingga petang panas dan hujan..
Kau lalui hanya untuk menjalankan kewajibanmu..
Mencari nafkah untuk kami..
Terima kasih Ayah...

Senin, 28 Januari 2013

Bukan Karna Agama, Tapi Karna Bakat!

Tak mudah jadi kaum minoritas. Itu yang dirasakan personel boyband Inggris One Direction Zayn Malik, yang baru saja dicerca oleh seorang blogger Inggris karena ia seorang muslim.

Seorang blogger bernama Debbie Schlussel menulis dalam blognya bahwa Zayn Malik berusaha membuat fans One Direction pindah agama dengan cara menulis tweet tentang Islam. Zayn memang dikenal sebagai pemuda muslim yang relijius dan bahkan pernah menuliskan kalimat syahadat di akun Twitternya @zaynmalik. Tweet inilah yang ternyata menuai kritik dari beberapa kalangan anti-muslim di Eropa dan Amerika, termasuk salah satunya Debbie Schlussel.

"Ia menggunakan pengaruhnya untuk menyebarkan agama Islam para penggemarnya, dan berusaha membuat mereka pindah agama. Itu berbahaya," tulis Debbie dalam blognya.

Untungnya, kecaman konyol Debbie dan beberapa kalangan anti-muslim ini justru ditolak mentah-mentah oleh banyak pihak. Di Yahoo! OMG Inggris, para fans One Direction jelas-jelas menyatakan dukungan mereka pada Zayn.

"Jangan ganggu Zayn. Hormatilah agama dan kepercayaan setiap orang," tulis seorang fans

Penggemar lain menulis, "Zayn memang seorang muslim, tapi itu bukan hal yang buruk. Semua orang punya kepercayaan masing-masing yang mereka anggap benar. Dan jika ada fans yang pindah agama karena dia, itu hak mereka."

Zayn juga dipuji oleh muslim lain di industri hiburan Eropa dan Amerika. Wajahat Ali, penulis skenario di San Fransisco, menyebutkan bahwa kesuksesan Zayn justru dapat memperbaiki nama baik Islam di dunia barat. "Dia menunjukkan bahwa seseorang dapat dihargai karena bakatnya, dan ia tak akan diasingkan hanya karena ia seorang muslim."

Zudhi Jasser, seorang aktivis muslim di Amerika, juga mendukung Zayn yang berani memproklamasikan keislamannya di dunia barat yang terkenal diskriminatif pada muslim. Namun ia mengingatkan bahwa muslim yang konservatif mungkin justru akan ikut mengecam Zayn karena tato dan tindikan di kupingnya.

Zayn Javvad Malik dilahirkan di Bradford, Inggris, pada 12 Januari 1993. Ibunya, Tricia Malik, adalah asli Inggris, sedangkan sang ayah Yaser Malik berdarah Pakistan.

Rabu, 23 Januari 2013

puisi


             karya  : Amirah Maulida                                     
                    
                            IBU


Kepada Ibu yang telah melahirkanku..
Maaf, karna aku belum bisa mengukir bahagia diwajah tuamu..
Maaf, karna aku belum bisa menanam bangga dalam hatimu..
Maaf, untuk semua air mata yang kau tumpahkan karnaku..
Maaf, karna aku belum mampu mengahapus beban ditubuh lelahmu..
Ibu... Terima kasih untuk cinta dan doamu untukku..
Sekali lagi.. Ibu maafkan aku..

                                                                      







Sabtu, 19 Januari 2013

cerpen

Bel berbunyi, tanda waktunya usai sekolah. Aku segera membereskan buku-buku yang kelas bersama temanku, aku melewati kelasnya. Ya, dia. Dia adalah pangeran dalam mimpiku. Aku bermimipi menjadi seorang putri dalam cerita dongeng dan dia adalah pangeranku. Hatiku dag-dig-dug tak karuan, saat melihat dia ada di depan kelasnya. Kelihatannya dia sedang menunggu. Apa mungkin menungguku? Ah rasanya tidak mungkin. Lagipula dia tidak mengenaliku. Saat aku melewatinya, rasa gugup dan malu menghampiriku. Dia cuek, sangat cuek. Walaupun kata temanku dia baik. Tetapi, saat aku melewatinya dia begitu tak acuh. Walaupun dia sempat melirik kepadaku. Pernah sekali, saat pelajaran dia melewati kelasku. Aku melihat dia, dan dia melihatku. Dia tersenyum dan aku pun tersenyum padanya. Tapi tadi, dia sangat cuek kepadaku. Ya, aku mengaguminya sudah sangat lama. Menurutku, dia baik. Namun “misterius”. Adik kelas banyak yang mengaguminya. Ya, aku tau dia ganteng. Seperti pangeran. Waktu berputar dengan sangat cepat. Tak terasa, dia akan melaksanakan Ujian Nasional. Itu berarti, dia akan lulus dari sekolah ini dengan cepat. Dan dia sudah tidak bersekolah disini lagi. Dia adalah dia, dan aku adalah aku. Kita memang tak pernah saling berbicara. Namun aku tau, mungkin dengan mata kita yang saling memandang, saat itulah kita sedang berbicara. Hari Jumat, tiga hari sebelum Ujian Nasional berlangsung. Di sekolahku diadakan doa bersama. Namun, kelas VII dan VIII tetap belajar seperti biasanya. Saat itu, kelasku sedang ada pelajaran Olahraga di lapangan. Kami sedang bermain basket, untuk pengambilan nilai mata pelajaran Olahraga. Saat Olahraga berlangsung, kulihat dia sedang duduk bersama teman-temannya di depan perpustakaan. Sekarang, giliran aku bermain basket. Aku berjalan ke tengah lapangan. Ada rasa gugup manghampiriku seperti biasa. Aku sempat melirik dia. Namun tak kelihatan. Di lapangan tidak hanya aku yang bermain basket tetapi ada Hana dan Deby. Namun, bolanya hanya ada dua, sehingga kami bergiliran dalam bermainnya. Pertama, Deby yang bermain. Lanjut ke Hana dan terakhir aku. Ada tiga kali kesempatan untuk memasukkan bola ke ring. Pertama aku tidak masuk. Aku kembali ke tengah lapangan, seperti biasa aku meliriknya. Dia sedang tertawa dengan teman-temannya. Aku tak tau apa yang mereka sedang bicarakan. Mungkin mereka menertawakanku. Sekarang, yang kedua. Yes, bolaku masuk. Lalu aku berlari kembali ke tengah lapangan. Di depan perpustakaan masih ada dia dan teman-temannya. Tak terdengar suara apapun. Hening. Mungkin mereka terkejut, kataku dalam hati. Dan yang ketiga kalinya, bolaku tak masuk ke dalam ring. Bel pun berbunyi, tanda waktu pelajaran pertama usai. Tetott..Tetott..Tetott.. Istirahat sudah berakhir. Sekarang pelajaran Matematika. Waktu menunjukkan pukul 10.30. Bel berbunyi, pelajaran matematika pun usai. Sekarang pelajaran ketiga yaitu Agama. Karena gurunya tidak pernah masuk, jadi setiap hari jumat hanya ada dua mata pelajaran. Kelas pun menjadi ramai. Tak terasa sudah pukul 11.00 usainya pelajaran di sekolah, bersamaan dengan usainya doa bersama. Saatnya untuk pulang. Namun, aku dan ketiga temanku tidak ingin pulang dahulu. Aku kaget Kak Dafa, Kak Guntur, dan Kak Pandu datang ke kelasku untuk meminta doa restu untuk UN. Saat Kak Dafa melihatku, ia sedikit berbisik kepadaku. Ia mengatakan padaku “Ra, dapat salam dari si ‘A’ tuh..”. Ya.. inisial namanya adalah ‘A’. Setelah mendengar perkataan Kak Dafa, aku diam. Tak tau harus bicara apa. Apakah yang dikatakan mas Dafa itu benar atau hanya lelucon saja? Aku pun tak mengerti.. Tapi kemana dia? Dia tidak datang ke kelasku. Kulihat, dia lebih memilih datang ke kelas sebelah, VIII E. Mungkin karena dia tau aku belum pulang dan tak mau bertemu denganku. Apakah segitunya? Dia tidak ingin bertemu denganku? Bukannya apa. Aku hanya ingin bilang kepadanya, “Sukses ya Kak. Semoga dapat nilai yang bagus.” Hanya kalimat singkat itu yang aku ingin ucapkan padanya. Tapi, kenapa dia seperti itu padaku. Sombong sekali rasanya. Aku melihat dia dan sebagian teman-temannya datang ke kelas sebelah, ya, VIII B. Aku jengkel melihatnya. Aku tau dia sempat melirik ke kelasku. Dan tak acuh. Huh, cowok sombong! Saat pulang. Di perjalanan, aku masih mengingat kejadian tadi. Sakit rasanya, dia seperti itu padaku. Walaupun dulu masih kuingat. Kejadian yang indah saat bertemu dengannya. Aku tersenyum sendiri, saat mengingatnya. Namun semua itu sudah menjadi kenangan yang manis. Panasnya terik matahari membuat aku dan temanku, Sari. Menunggu bus di halte. Setiap hari kami pulang bersama. Cukup lama kami menunggu bus datang. Sudah biasa hal itu terjadi. Ujian Nasional telah usai. Kelas IX libur untuk beberapa hari kedepan. Hari-hari sekolah pun aku lewati seperti biasa. Namun, ada satu hal yang berbeda. Suasana di sekolah menjadi sangat sepi. Saat pagi hari, aku datang ke sekolah, sangat berbeda dengan biasanya. Ya, dia. Dia tidak ada di tempat duduk panjang pagi itu. Tidak seperti hari-hari kemarin. Saat istirahat pun, dia tidak ada. Rasa kangenku semakin lama semakin memuncak terhadapnya. Karena aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi. Aku ingat dengan kejadian itu, ketika kami curi-curi pandang saat bertemu. Ha-ha-ha konyol! Bisikku.