PEMANGGIL BIDADARI
Batu-batu
jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti
kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki
desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu
menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka member warna hitam pada sebuah hari
dimana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu
menjadi kutukan. Tak ada satu pun menyukai malam di desa itu, hanya si Mbah Ibulah
yang selalu menyukai penguasa sebuah hari dan sunyi.
Aku
tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan
guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip
matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberku keberanian
member makna kesetiaan utuh pada semesta. Mata itu benar-benar mengajariku
menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan
akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberku nama Ratri.
“Mbah, mengapa namaku Ratri?”
“Karena
kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang
mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang
membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong.”
Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai
malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut di ajaknya
keluar melihat bintang. “Mari Nduk, kita berburu Bidadari”. Entah entah kenapa
kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira.
Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan di ajarkannya ritual
“memanggil Bidadari” itu padaku.
Pada awalnya tangan kami
terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir
angin bergerisik di antara daun0daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti
bisikan kesedihan yang entah dari man datangnya. Entah kekuatan darimana tangan
kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami
berdegup tak kuasa untuk menolak music yang begitu saja menyeruak dari dada.
Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh
harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil
Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya.
“mengapa
kita memanggil Bidadari?”
“karena
jika Bidadari-Bidari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu
akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang
yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka
sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka
akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka
akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan
kekuatan itu.”
Benar
saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi music dari hati kami
serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama
kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut
wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu.
“mungkin salah satu Bidadari itu Ibumu, Nduk.”
Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang
sebenderangnya dalam yang bias ku panggil Ibu. hatiku. Terang yang mampu
melahitkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu
tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan si mbah Ibu itu
meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah
dimana. Mungkin itui sebabnya perempuan tua ityu ku panggil si mbah Ibu, karena
hanya dia perempuan
Ketika mantra selesai, simbah Ibu menengadahkan tangannya
ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam
sekejap cahaya-cahaya yang bergerumuh datang seperti hujan meteor menembus
pekatnya malam. Cahaya-cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk.
Setiap rumah yang dimasuki itu selalu
memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan
Bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun
di mataku adalah waktu dimana lukisan terindah sedang dimana lukisan
terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak
berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan Cinta.
Sekitar
jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat.
Dengan kelegaan luar biasa si Mbah Ibu selalu mengajakku bersujud menciumi bumi
sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun
membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti
mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan
entah darimana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu di
hadiahkan pada Bidadari untuk memberi senyuman pada wajah ku karena konon pada
roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin
kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh
ibuku di antara kunang-kunang yang menari diantara malam dengan pekat yang
hebat….
Setiap
pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat
dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari
penhuni sorga itu menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di
desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil
Bidadari-Bidadari itu karena si Mbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda
penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap didalamnya akan
menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka lahir maka
dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak
jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya.
Setiap
malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan
cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan.
Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tak terhingga pada
kami, pemanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun menurun oleh
nenek moyangku. Hanya keluarga ku yang memiliki ilmu itu.
Hingga
satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, simbah
Ibu pergi memenuhi Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun
sebelum pergi si Mbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil
Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah ku jalankan. Aku begitu marah
luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk
melupakan kerinduanku pada si Mbah Ibu daripada memanggil Bidadari untuk
desaku. Demikianlah sejak si Mbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil
Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu
pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya
yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya, setiap pagi
orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi
mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi
mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi
kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal
karena mereka memilih itu daripada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan
pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pakat yang
sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil
Bidadari tak lagi berada di desa itu.
Bertahun-tahun
kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang si
Mbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh
dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi
tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apapun. Meskipun kata
orang-orang kecantikanku mampu menbuat tulang di leher para lelaki bergerak
tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu
telah mati. Senyum tak ada lagi dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama
kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bias dieja oleh huruf paling purba
sekali pun. Aku pilih pekerjaan yang membuat ku harus berjalan ke pelosok dunia
untuk melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga
suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa
membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan
bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu
kunang-kunang yang keluar dari Bumi. Aku rindu Ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu
melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu hidup.