Kamis, 07 Februari 2013

cerpen


          PEMANGGIL BIDADARI

Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka member warna hitam pada sebuah hari dimana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun menyukai malam di desa itu, hanya si Mbah Ibulah yang selalu menyukai penguasa sebuah hari dan sunyi.
            Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberku keberanian member makna kesetiaan utuh pada semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberku nama Ratri.
            “Mbah, mengapa namaku Ratri?”                       
            “Karena kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong.”         
            Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut di ajaknya keluar melihat bintang. “Mari Nduk, kita berburu Bidadari”. Entah entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan di ajarkannya ritual “memanggil Bidadari” itu padaku.
            Pada awalnya tangan kami terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin bergerisik di antara daun0daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti bisikan kesedihan yang entah dari man datangnya. Entah kekuatan darimana tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami berdegup tak kuasa untuk menolak music yang begitu saja menyeruak dari dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya.
            “mengapa kita memanggil Bidadari?”
            “karena jika Bidadari-Bidari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.”
            Benar saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi music dari hati kami serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu.
            “mungkin salah satu Bidadari itu Ibumu, Nduk.”
            Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang sebenderangnya dalam yang bias ku panggil Ibu. hatiku. Terang yang mampu melahitkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan si mbah Ibu itu meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah dimana. Mungkin itui sebabnya perempuan tua ityu ku panggil si mbah Ibu, karena hanya dia perempuan
            Ketika mantra selesai, simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergerumuh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya-cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk. Setiap  rumah yang dimasuki itu selalu memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan Bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun  di mataku adalah waktu dimana lukisan terindah sedang dimana lukisan terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan Cinta.
Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa si Mbah Ibu selalu mengajakku bersujud menciumi bumi sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah darimana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu di hadiahkan pada Bidadari untuk memberi senyuman pada wajah ku karena konon pada roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang menari diantara malam dengan pekat yang hebat….
Setiap pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penhuni sorga itu menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil Bidadari-Bidadari itu karena si Mbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap didalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka lahir maka dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya.
Setiap malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tak terhingga pada kami, pemanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun menurun oleh nenek moyangku. Hanya keluarga ku yang memiliki ilmu itu.
Hingga satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, simbah Ibu pergi memenuhi Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi si Mbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah ku jalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupakan kerinduanku pada si Mbah Ibu daripada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak si Mbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya, setiap pagi orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal karena mereka memilih itu daripada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pakat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu.
Bertahun-tahun kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang si Mbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apapun. Meskipun kata orang-orang kecantikanku mampu menbuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada lagi dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bias dieja oleh huruf paling purba sekali pun. Aku pilih pekerjaan yang membuat ku harus berjalan ke pelosok dunia untuk melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu kunang-kunang yang keluar dari Bumi. Aku rindu Ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu hidup.